Selamat Datang... Blog ini menjadi saksi, bahwa kita pernah jumpa dalam dunia maya :)

Membuat Tifa

TAHAPAN MEMBUAT ALAT MUSIK TIFA


      Alat musik tifa juga merupakan alat musik tradisional khas Indonesia bagian Timur, khususnya pada Maluku dan papua. Jika diamati secara sekilas, alat musik tifa ini mempunyai bentuk yang yang hampir sama gendang yang mana pada bagian tengahnya dilubangi.

Alat musik Tifa sendiri merupakan alat musik yang biasa dimainkan oleh para suku Asmat. Kelompok suku ini dikenal juga dengan kemampuan serta kelihaiannya dalam memainkan alat musik Tifa.

Adapun langkah-langkah dalam membuat alat musik tifa, sebagai berikut.


1. Pemilihan Jenis Pohon

Memilih pohon linggua yang berkualitas, yang kemudian ditebang dan dipotong sesuai dengan ukuran yang diinginkan. Kayu linggua ini juga dibuat menyerupai bentuk gendang. Namun, ukuran serta ketinggiannya berbeda. Tinggi dari alat musik tifa ini sendiri disesuaikan dengan jenis serta asal pembuatannya.


2. Pengosongan Isi Kayu

Setelah membentuk kayu linggua yang sesuai dengan ketinggian serta ukurannya. Kayu ini kemudian dibuat seperti tabung, yang di mana pada bagian tengah dari kayu ini dilubangi dan dikosongkan. Tujuan dari dilubangin pada bagian tengahnya adalah agar menghasilkan bunyi nyaring ketika dipukul. Proses pengosongan isi kayu tak memakan waktu lama karena menggunakan alat khusus demi memudahkan setiap prosesnya.


3. Pengeringan Kulit Hewan

ada tahapan ini, kayu yang telah dibentuk dan dilubangi tadi kemudian akan ditutup pada bagian bawah ujungnya serta pada ujung alat musik ini biasanya ditutup dengan menggunakan kulit hewan, umumnya yang digunakan ialah kulit rusa. Pada daerah tertentu, penutup dari alat musik tifa ini menggunakan kulit soa-soa ataupun biawak yang telah dikeringkan sebelumnya.


4. Pemasangan Penutup Tifa

Setelah selesai mengeringkan kulit hewan yang digunakan untuk menutup alat musik ini, langkah selanjutnya adalah kulit hewan tersebut kemudian dipanaskan. Tujuannya adalah agar kulit hewan ini tertarik kencang. Menurut pengrajin alat musik tifa, semakin kering kulit hewan tersebut maka akan semakin bagus juga bunyi yang dihasilkan, yaitu lebih nyaring dan kuat. Setelah kering, barulah pemasangan penutup tifa dilakukan.


5. Pengukiran Alat Musik Tifa

Selesai menutup bagian ujung dari alat musik, bagian terakhirnya adalah memberikan sentuhan seni. Kesenian dalam menghiasi tifa ini pada umumnya disesuaikan dengan daerah pembuatannya.


Share:

Sejarah Tifa

 ALAT MUSIK TIFA



Tifa merupakan alat musik khas Indonesia bagian Timur, khususnya berasal dari Maluku dan Papua. Alat musik ini memiliki bentuk yang menyerupai gendang serta terbuat dari kayu yang di lubangi pada bagian tengahnya. Setelah dilubangi, kemudian ditutupi dengan kulit hewan (biasanya kulit rusa). Dengan begitu, ketika alat musik ini dimainkan dengan cara dipukul bisa menghasilkan suara yang bagus dan indah.

Alat musik tifa itu sendiri memiliki beberapa jenis, seperti Tifa Jekir, Tifa Dasar, Tifa Potong, Tifa Jekir Potong serta Tifa Bas. Sementara itu, bentuk dari alat musik tifa biasanya dibuat dengan ukir-ukiran khas daerahnya. Badan kerangkanya juga terbuat dari kayu yang dilapisi oleh rotan sebagai pengikatnya dengan bentuk yang berbeda-beda berdasarkan daerah asalnya. Terlebih lagi, alat musik tifa antara daerah yang satu dengan daerah lainnya belum tentu sama atau bisa dibilang memiliki ciri khasnya masing-masing.

Alat musik Tifa umumnya digunakan untuk mengiringi tarian perang serta beberapa tarian daerah lainnya. Adapun kesenian yang biasa menggunakan alat musik tifa sebagai pengiringnya, seperti tari Lenso dari Maluku yang diiringi juga dengan alat musik totobuang, tarian tradisional suku Asmat serta tari Gatsi.

Di daerah Maluku, alat musik tifa ini dikenal dengan nama Tahitoe dan biasa dimainkan di daerah Maluku Tengah. Sementara itu, di Pulau Aru, alat musik tifa dikenal dengan nama Titir.


Mitos Alat Musik Tifa

      Asal-usul tifa tak lepas dari mitos-mitos di kalangan masyarakat pedalaman Papua.

Konon katanya, terdapat dua bersaudara asal Papua yang bernama Fraimun serta Saran Bayar. Mereka melakukan petualangan dan pergi meninggalkan desa yang sudah tenggelam. Lalu, mereka memilih untuk menetap di Wamp Ender, Biak Utara. Saat sedang berburu di malam hari, dua bersaudara ini kemudian menemukan pohon opsur, sebuah pohon yang mengeluarkan suara di tengah hutan.

Keesokan harinya, saat kembali mendatangi pohon untuk mencari tahu asal suara, ternyata mereka menemukan lebah madu, biawak, soa-soa dan binatang-binatang lain yang tinggal di pohon tersebut.

Hingga akhirnya, mereka memutuskan untuk menebang pohon dan membuang bagian tengahnya dengan menggunakan besi panjang yang mana ujungnya sudah dibuat dengan tajam. Kemudian, bagian pohon yang sudah dilubangi dibuat hingga sama seperti pipa. Hal ini dilakukan agar pohong yang dilubangi terlihat rapi.

Awalnya, sang adik berniat menutupi salah satu sisinya dengan menggunakan kulit paha sang kakak, namun karena akan menyakiti sang kakak akhirnya mereka memutuskan untuk menggunakan kulit soa-soa. Cara menangkap soa-soa juga terbilang cukup unik, mereka tak menangkapnya begitu saja, tetapi malah memanggil hewannya dengan menggunakan bahasa Biak.

“Hei, napiri Bo..”. Entah mengapa hewan ini seperti paham serta mengerti dan mendatangi keduanya begitu saja. Soa-soa pun kemudian dibunuh dan dikuliti untuk yang kemudian kulitnya digunakan untuk menutupi salah satu permukaan lubang kayu, dan hasilnya berupa alat musik tifa sebagaimana yang kita kenal saat ini

Share:

Memainkan Kolintang

 BAGAIMANA CARA MEMAINKAN KOLINTANG ?




      Pertanyaan seperti itu seringkali muncul bagi mereka yang baru saja mengetahui apa itu alat musik kolintang.

Seperti yang telah disinggung sebelumnya, cara memainkan alat musik kolintang adalah dengan dipukul menggunakan mallet atau alat pemukul khusus. Alat pemukul itu khusus agar suara yang dikeluarkan akan terdengar bagus dan merdu. Maka dari itu, di bagian ujung mallet atau alat pemukul Kolintang biasanya diberi bantalan kain.

Demikian seperti halnya alat pukul musik Gamelan, mallet atau alat pemukul Kolintang yang digunakan untuk memukul Kolintang tersebut biasanya terdiri dari tiga buah yang diberi nomor tersendiri. Untuk mallet nomor satu biasanya digunakan di tangan kiri, sedangkan nomor dua dan tiga dipegang di tangan kanan.

Khusus untuk stik dua dan tiga biasanya dipasang di sela-sela jari sesuai dengan accord yang dimainkan. Sama dengan alat musik pada umumnya, alat musik Kolintang mempunyai accord sendiri yang dipukul secara bersamaan. Namun, untuk jenis Kolintang bas dan melodi biasanya dimainkan tanpa accord. Meskipun begitu, disesuaikan dengan nada yang diinginkan, sehingga untuk memainkannya hanya butuh dua stik saja.

Share:

Apa Itu Kolintang?

 KOLINTANG


       Kata ‘Kolintang’ ini pada dasarnya berasal dari bunyi “tong” untuk nada rendah, ting untuk nada tinggi, dan tang untuk nada tengah. Dahulu, orang Minahasa biasanya mengajak bermain kolintang dengan mengatakan “Mari kita ber-tong-ting-tang” atau dalam bahasa daerah Minahasa “Maimo Kumolintang”. Dari kebiasaan pengucapan itulah, maka hingga saat ini muncul istilah “Kolintang”.

Alat musik kolintang awalnya hanya terdiri dari beberapa potong kayu yang diletakkan berjejer di atas kedua kaki pemainnya yang duduk di tanah, dengan posisi kedua kaki lurus ke depan. Namun, dari waktu ke waktu, penggunaan kaki pemain diganti dengan dua batang pisang, sehingga Kolintang dapat berdiri dan dimainkan dengan cara berdiri juga. Peti resonator mulai digunakan sejak kedatangan Pangeran Diponegoro dan pengikutnya untuk menjalani pengasingan di Minahasa pada 1830 yang membawa seperangkat gamelan. Untuk peti resonator itu sendiri biasanya terbuat dengan menggunakan kayu keras seperti jati atau mahoni. Seiring dengan berjalannya waktu, Kolintang mulai menggunakan peti resonator dalam pembuatannya.

Pada saat itu, Kolintang hanya terdiri dari satu melodi yang memiliki susunan nada diatonis, dengan jarak dua oktaf dari nada. Selain itu, sebagai pengiring dari Kolintang, digunakan beberapa alat musik lainnya, seperti gitar, ukulele dan bas. Namun, pada tahun 1960, berkembang hingga menjadi tiga setengah oktaf dengan nada satu kres, naturel, dan satu mol. Dasar nadanya masih terbatas pada tiga kunci (naturel, 1 mol, dan 1 kruis). Tidak hanya itu, berjalannya waktu membuat jarak nadanya berkembang lagi menjadi empat setengah oktaf dari F sampai dengan C.

Sebagai alat musik pun Kolintang terus mengalami perkembangan. Pada awalnya, hanya instrumen kolintang melodi saja. Namun, berdasarkan catatan Beiby Sumanti dalam Kolintang Inspirasi Indonesia, Kolintang yang secara lengkap memiliki hingga sepuluh musik, yaitu melodi 1 (ina esa), melodi 2 (ina rua), melodi 3 (ina taweng), cello (cella), bass (loway), tenor 1 (karua), tenor 2 (karua rua), alto 1 (uner), alto 2 (uner rua), ukulele atau alto 3 (katelu).Kolintang melodi berfungsi sebagai pembawa lagu terutama lagu-lagu daerah Minahasa. Pada umumnya, pemain melodi menggunakan dua atau tiga pemukul. Jika salah satu pemukul memainkan lagu, maka pemukul lainnya memainkan kombinasi atau nada-nada improvisasi Untuk memainkan nada panjang, maka pemain Kolintang harus menggetarkan pemukulnya atau nada yang dipukul harus ditahan. Hingga kini, perkembangan alat musik Kolintang masih tetap berlangsung, baik dari segi kualitas alat, perluasan jarak nada, ataupun bentuk peti resonator.

Share:

Sejarah Kolintang

 SEJARAH KOLINTANG


       Zaman kala itu, ada sebuah desa yang sangat indah dan permai yang bernama adalah To Un Rano. Desa itu saat ini lebih dikenal oleh banyak orang dengan nama desa Tondano. Mula-mulanya, di desa yang terletak di daerah Minahasa ini, ada sosok gadis cantik jelita yang sudah tersohor ke seluruh pelosok desa, sehingga banyak pemuda yang jatuh hati. Sang gadis itu bernama Lintang, sosok yang pandai bernyanyi dan memiliki suara emas yang nyaring sekaligus merdu, sehingga banyak orang yang kagum dengan suaranya.

Pada suatu waktu, sebuah pesta muda-mudi diselenggarakan di desa To Un Rano. Saat itu, muncullah seorang pemuda gagah dan tampan yang kemudian berkenalan dengan Lintang, ia menyebut namanya, Makasiga. Singkat cerita, Makasiga jatuh cinta dengan Lintang, kemudian memutuskan untuk meminang Lintang. Akan tetapi, ada satu syarat jika pinangan Makasiga ingin diterima oleh Lintang, yakni Makasiga harus mencari alat musik yang bunyinya lebih merdu dari seruling emas.

Atas keinginan dan syarat yang harus dipenuhi, kemudian Ma?asiga pun pergi berkelana keluar masuk hutan hanya untuk mencari alat musik yang diinginkan Lintang. Ketika malam tiba, badan Makasiga tampak kedinginan, tetapi keesokan harinya ia tetap membelah-belah kayu untuk kemudian dijemurnya. Setelah belahan-belahan kayu sudah cukup kering, kemudian mengambil satu persatu belahan kayu tersebut dan kemudian dilemparkannya kayu-kayu itu ke berbagai tempat.

Ketika belahan-belahan kayu jatuh dan membentur tanah, seketika terdengar bunyi-bunyian yang amat nyaring dan merdu. Makasiga senang bukan kepalang, berkat ketekunan dan keuletannya, ia berhasil membuat alat musik. Sementara di tempat lain, dua orang pemburu juga mendengar bunyi-bunyian itu, sehingga berusaha mencari sumber bunyi tersebut. 

Singkat cerita, Makasiga jatuh sakit dan kurus kering karena terlalu fokus mencari alat musik untuk Lintang, sehingga ia lupa makan dan minum. Dua orang pemburu tadi menemukannya dan membawanya kembali ke desanya. Namun, karena sakitnya semakin parah, Makasiga pun meninggal dunia. Mendengar Makasiga meninggal, Lintang pun sakit parah dan menyusulnya ke alam baka.

Kisah ini adalah cerita rakyat Minahasa mengenai asal usul alat musik kolintang yang merupakan alat musik tradisional dari Minahasa, Sulawesi Utara. Berasal dari bahan kayu, tetapi jika dipukul tentunya bisa menghasilkan bunyi-bunyi yang nyaring dan merdu, sehingga banyak orang yang ingin mendengarkannya.

Bunyi yang dihasilkan dapat mencapai nada-nada tinggi ataupun rendah tergantung selera pemain alat musik kolintang. Jenis kayu yang digunakan untuk membuat Kolintang adalah kayu telur, bandaran, wenang, kakinik atau jenis kayu lain yang ringan, tetapi bertekstur padat dan serat kayunya tersusun rapi, seperti membentuk garis-garis horizontal.

Cerita sejarah tentang alat musik kolintang itu diambil dari buku Kolintang: Kisah Alat Musik Khas Minahasa karya E. H. Rauw.

Share:

Blogroll

Labels

About

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Categories

Advertising

Advertising

Hallo sobat musik

Mari tahu lebih banyak tentang alat musik!

Mengenal komponen penyusun

 Assalamualaikum Wr Wb.  Hallo semua aku Caca, di postingan ini aku akan menjelaskan detail lebih mendalam tentang gitar, apa itu Gitar? Apa...

Label